Jakarta (DMS) – Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menekankan perlunya Indonesia mengevaluasi kebijakan perdagangannya terhadap Amerika Serikat (AS) guna memastikan hubungan dagang yang tetap harmonis dan saling menguntungkan.
“Indonesia perlu mengkaji kembali kebijakan perdagangan yang dianggap proteksionis, meningkatkan transparansi dalam perizinan impor, serta menyesuaikan regulasi teknis dengan standar internasional agar hubungan dagang dengan AS tetap terjaga,” ujar Josua saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis.
Sebelumnya, AS memasukkan Indonesia dalam daftar 58 negara yang dianggap menerapkan kebijakan yang menghambat perdagangan. Beberapa aspek yang menjadi perhatian termasuk tarif impor, kebijakan nontarif, dan regulasi investasi.
Dalam aspek tarif, AS menyoroti kecenderungan kenaikan tarif impor Indonesia dalam satu dekade terakhir, terutama pada produk yang bersaing dengan industri lokal, seperti elektronik, produk kimia, kosmetik, obat-obatan, serta produk pertanian. Kenaikan tarif ini dinilai melampaui batas yang disepakati di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), sehingga dianggap sebagai langkah proteksionis.
Selain itu, sistem perizinan impor yang dianggap kompleks juga menjadi sorotan. AS menilai sistem commodity balance yang diterapkan Indonesia dapat menimbulkan ketidakpastian, terutama ketika pemerintah menambahkan komoditas baru dalam daftar pembatasan impor tanpa konsultasi yang memadai dengan pelaku usaha.
Regulasi lain yang menjadi perhatian adalah aturan sertifikasi halal untuk produk makanan, farmasi, dan kosmetik. AS menilai penerapan aturan ini dilakukan tanpa notifikasi yang memadai di WTO, sehingga berpotensi menjadi hambatan teknis bagi eksportir mereka.
Lebih lanjut, pembatasan kepemilikan asing dalam sektor jasa keuangan juga dianggap sebagai hambatan signifikan. Misalnya, aturan yang membatasi kepemilikan asing dalam perusahaan pemrosesan pembayaran domestik serta lembaga pelaporan kredit swasta yang diawasi oleh Bank Indonesia.
Menurut Josua, jika berbagai hambatan ini tidak dievaluasi, AS berpotensi mengambil langkah balasan, seperti menerapkan hambatan perdagangan serupa terhadap produk ekspor Indonesia, seperti tekstil, hasil pertanian, dan elektronik. Hal ini berisiko memperlambat pertumbuhan ekspor Indonesia ke AS, yang merupakan salah satu pasar utama bagi produk Indonesia.
Selain itu, dampak jangka panjang terhadap investasi juga bisa signifikan. Jika ketidakpastian kebijakan terus berlanjut, kepercayaan investor AS terhadap pasar Indonesia dapat menurun, yang berpotensi mengurangi investasi asing dalam sektor manufaktur, jasa, dan teknologi.
Untuk mengatasi tantangan ini, Josua menekankan pentingnya pendekatan dialog yang lebih intensif melalui kerangka Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) antara Indonesia dan AS. Pendekatan ini dapat menjadi solusi konstruktif untuk menjaga hubungan dagang yang stabil dan menguntungkan bagi kedua negara.DMS/AC