Jakarta (DMS) – Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan dukungan penuh terhadap percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat sebagai upaya memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat.
“Kementerian HAM konsisten mendukung percepatan pengesahan RUU Masyarakat Adat yang berlandaskan nilai-nilai HAM,” kata Menteri HAM Natalius Pigai usai menerima audiensi Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat di Jakarta, Selasa.
Pigai menjelaskan, hingga kini belum ada undang-undang khusus yang mengatur masyarakat adat, meskipun keberadaan mereka telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terutama dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I.
“Masyarakat adat sudah ditempatkan dalam posisi yang mulia di konstitusi nasional, namun sejak Indonesia merdeka sampai hari ini, belum ada undang-undang yang mengatur secara rinci perlindungan, pelestarian, dan penghormatan terhadap mereka,” ujarnya.
Pigai menambahkan, pihaknya akan menggelar diskusi kelompok terpumpun (FGD) bersama Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat pada awal Juni. Koalisi tersebut terdiri dari sekitar 47 organisasi yang fokus mengadvokasi dan mendampingi masyarakat adat di seluruh Indonesia.
Setelah FGD, Kementerian HAM akan menyurati DPR RI untuk mendorong percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini.
“RUU ini kemungkinan besar disahkan pada 2025, namun substansi undang-undangnya harus kuat,” kata Pigai.
Ia menegaskan, isi RUU Masyarakat Adat harus memenuhi standar HAM, menghargai nilai-nilai masyarakat adat, serta memberikan perlindungan yang nyata. Salah satu isu yang perlu diperjelas, menurut Pigai, adalah definisi masyarakat adat yang hingga kini masih kerap mengalami pergeseran karena belum ada pengertian yang tegas.
Pigai juga menyoroti pentingnya kejelasan regulasi agraria dan investasi yang melibatkan masyarakat adat. Ia menekankan bahwa kehadiran perusahaan di wilayah adat tidak boleh merusak budaya dan tatanan adat yang sudah ada.
“Kehadiran perusahaan seharusnya memproteksi dan melestarikan masyarakat adat, bukan malah meniadakan mereka,” tegas Pigai.DMS/AC