Jakarta (DMS) – Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025 perlu disertai dengan perbaikan tata kelola pemerintah, terutama di sektor perpajakan.
Menurut Wijayanto, meski kenaikan PPN ini dapat dipahami sebagai upaya menjaga stabilitas fiskal, langkah tersebut dinilai kurang ideal mengingat situasi fiskal yang tengah berat.
“Rendahnya tax ratio kita lebih disebabkan oleh tax base yang sempit, korupsi di sektor pajak, serta tingkat kepatuhan wajib pajak yang rendah. Saya melihat kenaikan ini semata-mata untuk mengamankan fiskal, terutama menghadapi tantangan berat di tahun 2025 dan 2026,” ujar Wijayanto di Jakarta, Rabu.
Wijayanto menyebut pemberian insentif pemerintah dapat menjadi solusi untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah kenaikan PPN. Namun, ia menekankan pentingnya implementasi yang baik agar insentif tersebut efektif.
“Semakin kompleks insentif yang diberikan, semakin rumit implementasinya di lapangan. Selain itu, insentif tidak akan berjalan maksimal jika penerima sasaran tidak memahami mekanismenya,” jelasnya.
Ia menambahkan, pemerintah perlu meningkatkan komunikasi kepada masyarakat dan pengusaha agar mereka dapat memanfaatkan insentif tersebut secara optimal, sehingga roda ekonomi tetap berputar.
Menanggapi pernyataan pemerintah yang menyebut ekonomi tetap stabil saat PPN naik menjadi 11 persen pada 2022, Wijayanto menilai kondisi saat itu tidak bisa dibandingkan dengan situasi terkini.
“Pada 2022, perekonomian masih dalam fase pemulihan pasca pandemi COVID-19, sehingga terjadi lonjakan permintaan belanja. Namun, saat ini ekonomi dunia sedang melambat, daya beli masyarakat melemah, dan terdapat risiko tambahan seperti dampak ‘Trump Effect’ pasca Pemilu AS,” tuturnya.
Menurutnya, insentif sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan ekonomi saat ini, tetapi harus disertai prinsip keadilan dalam kebijakan.
Wijayanto menyoroti bahwa kebijakan kenaikan PPN dan upah minimum provinsi (UMP) cenderung lebih menguntungkan pemerintah dan pekerja, namun memberatkan pengusaha.
“Berbagai stimulus yang diluncurkan pemerintah baru-baru ini belum jelas memberikan manfaat langsung bagi pengusaha. Padahal, mereka sedang dalam kondisi sulit,” ungkapnya.
Ia menyarankan agar pemerintah lebih proaktif dalam menciptakan kebijakan yang mendukung pengusaha, mengingat peran penting mereka dalam perekonomian.
“Jika pengusaha dalam negeri kehilangan optimisme dan memilih untuk tidak berinvestasi atau bahkan melakukan divestasi, ini akan berdampak buruk bagi perekonomian. Bagaimana kita bisa menarik minat investor asing jika pengusaha lokal saja tidak percaya diri untuk berinvestasi?” pungkasnya.DMS/AC