Jakarta – Perubahan kesaksian Dede Riswanto dalam kasus pembunuhan Vina dan Eky delapan tahun lalu dinilai membuktikan rapuhnya cerita yang dibangun polisi sejak awal. Konstruksi kasus bahwa sejoli itu dibunuh oleh delapan orang terpidana pun semakin diragukan.
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menilai pengakuan terbaru Dede membuktikan rapuhnya kronologi pembunuhan yang dibuat oleh Polres Cirebon dalam kasus ini. Pasalnya, polisi hanya bersandarkan pada keterangan saksi tanpa adanya barang bukti tidak langsung atau circumstantial evidence yang mendukung keterangan tersebut.
Padahal, menurut dia, keterangan yang mengandalkan daya ingat manusia, sangat rentan terfragmentasi dan terdistorsi. “Ditambah lagi, bukti saintifik sebagai bentuk circumstantial evidence-nya nyaris tidak ada. Semakin rapuhlah simpulan polisi,” ujarnya Reza kepada Tempo Selasa kemarin, 23 Juli 2024.
Dede Riswanto merupakan salah satu orang yang disebut sebagai saksi kunci kasus pembunuhan Vina dan Eky delapan tahun lalu. Dalam sidang terhadap delapan orang yang kini sudah menjadi terpidana di Pengadilan Negeri Cirebon, Dede mengaku melihat Vina dan Eky dilempari batu.
Dede juga mengaku melihat sepasang kekasih itu dikejar oleh para pelaku dengan menggunakan empat motor dan membawa bambu. Dia juga mengaku mengenal wajah lima dari delapan terdakwa saat itu.
Belakangan Dede menarik kesaksiannya itu. Dia mengaku tak melihat apa-apa saat malam kejadian 27 Agustus 2016. Dia menyatakan terpaksa menjadi saksi karena dipaksa oleh rekannya, Aep, dan ayah Eky yang juga merupakan anggota polisi di Polres Cirebon, Iptu Rudiana. Dede menyatakan cerita tersebut bahkan sudah disiapkan oleh Rudiana.
Reza menilai pengakuan baru Dede ini membuat para terpidana mendapatkan eksonerasi atau koreksi terhadap status hukumnya, terbuka lebar. “Peluang eksonerasi bagi para terpidana akan semakin tinggi,” kata dia.
Eksonerasi ini bisa didapatkan para tersangka dengan mengajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Hanya saja, Reza menyatakan pengakuan Dede itu harus juga didukung oleh kesaksian atau bukti lainnya.
Hal senada diungkapkan oleh Pakar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Muhammad Fatillah Akbar. Dia menilai keterangan Dede ini tetap harus didukung dengan melihat keterangan saksi dan bukti-bukti lain, diantaranya keterangan Aep. “Seberapa signifikan saksi tersebut untuk membuktikan bahwa para tersangka ada atau tidak ada di TKP saat kejadian,” kata dia.
Akbar juga menilai pengakuan ini sebagai pisau bermata dua. Dede, menurut Akbar, bisa menjadi tersangka kasus perintangan hukum (obstruction of justice) karena memberikan keterangan palsu delapan tahun lalu. Akan tetapi, dia juga bisa menjadi justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama untuk mengungkap sebuah kasus. “Karena ini terkait fakta hukum yang telah terbukti dalam putusan berkekuatan hukum tetap,” ujarnya saat dihubungi secara terpisah.
Pengacara Dede, Suhendra Asido Hutabarat, pun telah menyerahkan keterangan terbaru kliennya itu ke Bareskrim Mabes Polri pada Selasa kemarin. Suhendra hadir dalam gelar perkara awal kasus keterangan palsu Dede dan Aep. Gelar perkara itu dilakukan untuk menindaklanjuti laporan yang diajukan pengacara keluarga tujuh terpidana kasus pembunuhan Vina dan Eky.DMS/AC