Jakarta (DMS) – Pemerintah didorong untuk menaikkan iuran Jaminan Pensiun (JP) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan secara bertahap demi menjamin keberlanjutan perlindungan sosial bagi masyarakat usia lanjut.
Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menilai program JP tidak boleh hanya bersifat administratif, tetapi harus benar-benar menjamin kehidupan di masa tua.
“Risiko defisit tetap terbuka apabila iuran tidak disesuaikan dengan proyeksi kebutuhan manfaat dan tren demografi penduduk lansia yang terus bertambah,” ujar Edy, Sabtu (12/7), di Jakarta.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Edy menyebut rasio ketergantungan lansia pada 2024 mencapai 17,76 persen, dengan jumlah penduduk lansia mencapai 33,67 juta jiwa atau sekitar 12 persen dari total populasi Indonesia. Angka ini diprediksi terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang.
Edy menekankan bahwa program JP harus mengacu pada standar internasional, seperti Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang merekomendasikan manfaat pensiun minimal 40 persen dari upah terakhir, bagi pekerja dengan masa iur 30 tahun. Untuk itu, ia mengusulkan kenaikan koefisien manfaat dari 1,2 persen menjadi 1,33 persen.
Selain besaran manfaat, Edy juga menyoroti rendahnya tingkat kepesertaan JP. Dari sekitar 145 juta angkatan kerja di Indonesia, hanya 15 juta yang menjadi peserta aktif JP. Artinya, mayoritas pekerja terutama di sektor informal dan mikrobelum terlindungi.
“Sebagian besar pekerja akan memasuki usia tua tanpa perlindungan ekonomi. Ini adalah masalah serius,” ujar Edy.
Ia juga meminta pemerintah menetapkan nilai minimum manfaat untuk ahli waris peserta JP yang meninggal dunia atau mengalami cacat total tetap, yakni minimal 1,5 kali garis kemiskinan sebagai bentuk perlindungan dasar.
Senada, Ketua Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia, Hasbullah Thabrany, menilai jaminan pensiun bagi seluruh rakyat belum menjadi prioritas serius negara. Padahal, amanat Pasal 34 ayat (2) UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa negara harus mengembangkan sistem jaminan sosial untuk seluruh rakyat.
“Selama ini, hanya pegawai negeri yang menikmati jaminan pensiun bulanan hingga akhir hayat. Padahal semua orang berisiko kehilangan pendapatan saat tua atau sakit,” kata Hasbullah.
Ia mencatat, dari total pekerja informal sekitar 130 juta orang, hanya sekitar 38 juta yang tercatat sebagai peserta JP. Ia menekankan pentingnya perluasan cakupan kepesertaan serta reformasi iuran dan pengelolaan dana pensiun.
“Semua pekerja yang memiliki penghasilan seharusnya bisa terdaftar dalam program JP, dengan iuran yang dibayar bersama oleh pekerja dan pemberi kerja,” ujarnya.
Hasbullah juga mengkritisi program Jaminan Hari Tua (JHT) yang dapat dicairkan kapan saja, karena dianggap melemahkan fungsi perlindungan jangka panjang. Ia menyarankan agar iuran JHT dan JP digabungkan dengan total kontribusi 8,7 persen dari upah, untuk menjamin masa pensiun yang layak.
Ia mengungkapkan bahwa Indonesia tertinggal jauh dalam pengumpulan dana pensiun publik dibanding negara lain. Bahkan, dana pensiun Vietnam disebut lebih besar meskipun jumlah penduduknya hanya setengah dari Indonesia.
“Malaysia dan Singapura sudah masuk 50 besar dunia dalam hal dana pensiun. Sementara kita baru mencapai 8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB),” tambahnya.
Hasbullah mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk menyadari pentingnya jaminan sosial di masa tua dan mendorong kehadiran negara dalam memastikan setiap warga negara memiliki perlindungan dasar yang layak.
“Semua orang berisiko menjadi lansia atau mengalami cacat. Negara harus hadir dan pekerja juga harus sadar bahwa perlindungan sosial adalah kebutuhan mendasar,” tutupnya.DMS/AC