[ad_1]
- Raja Eben Lumbanrau
- BBC News Indonesia

Sumber gambar, Save Sangihe Island (SSI)
Sekelompok warga Sangihe berdemo di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta.
Mahkamah Agung (MA) menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang membatalkan Surat Keputusan Menteri ESDM tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS) di Sangihe, Sulawesi Utara, sekaligus mewajibkan Menteri ESDM mencabut surat keputusan tersebut.
Samsared Barahama selaku juru bicara koalisi masyarakat Save Sangihe Island mengatakan, warga Sangihe menyambut baik dan terharu atas putusan itu karena akan menyelamatkan ruang hidup masyarakat lokal dan lingkungan dari ancaman kerusakan.
Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Muhammad Jamil, yang juga menjadi tim kuasa hukum dari 37 penggugat warga Sangihe, berharap Kementerian ESDM mematuhi putusan itu dengan mengeluarkan surat keputusan pembatalan dan bersatu dengan masyarakat untuk melakukan penghentian kegiatan pertambangan PT TMS di Sangihe.
Dikutip dari situs kepaniteraan.mahkamahagung.go.id, Majelis hakim MA yang diketuai oleh Sudaryono memutuskan pada Kamis (12/01), menolak permohonan kasasi Menteri ESDM dan PT TMS atas putusan PTTUN Jakarta yang mengabulkan gugatan warga Sangihe.
Rasa syukur warga Sangihe, ‘hasil dari perjuangan yang panjang’
Sumber gambar, Save Sangihe Island (SSI)
Sekelompok warga Sangihe berdemo di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta.
Juru Bicara koalisi masyarakat Save Sangihe Island (SSI), Samsared Barahama, mengatakan, warga Sangihe menyambut syukur dan bersukacita atas putusan MA yang menguatkan putusan PTTUN Jakarta.
“Warga terharu, ada yang menangis. Ini hasil dari perjuangan kami yang panjang, lebih dari setahun. Putusan ini telah menyelamatkan ruang hidup masyarakat Sangihe,” kata Samsared saat dihubungi BBC News Indonesia, Senin (16/01).
Samsared menambahkan, usai putusan ini, warga Sangihe berharap agar TMS untuk menghentikan seluruh aktivitas pertambangan di Desa Bowone, dan seluruh Sangihe.
“Tidak ada lagi mobilisasi alat-alat berat ke lokasi yang sekarang ini dilakukan penambangan. Kami harap perusahaan menghormati putusan persidangan tertinggi di Indonesia,” ujarnya.
Bagaimana kronologi kasus ini?
Elbi Pieter, Agustinus Mananohas, dan 35 pemohon dari Pulau Sangihe, mengajukan gugatan pada 12 Agustus 2021 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor: 163.K/ MB. 04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT. Tambang Mas Sangihe.
Dalam gugatan tersebut, para pemohon menyampaikan bahwa luas wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) sebesar 42.000 hektare atau sekitar 57% dari luas Pulau Sangihe. Pengalihan fungsi wilayah sebesar itu disebut mereka akan menyebabkan “malapetaka yang sungguh kejam setara bencana alam” dan merusak ruang hidup masyarakat lokal.
Namun, majelis hakim PTUN Jakarta yang diketuai Akhdiat Sastrodinata menyatakan gugatan itu tidak diterima. Majelis hakim lantas menghukum para penggugat untuk membayar seluruh biaya yang timbul dalam sengketa itu sebesar Rp39,2 juta.
Para penggugat yang merupakan masyarakat lokal Sangihe itu pun kemudian mengajukan banding ke PTTUN Jakarta.
Majelis hakim PTTUN yang diketuai oleh Eddy Nurjono, pada Senin, 20 Agustus 2022, mengabulkan gugatan pemohon untuk seluruhnya.
Bunyi putusannya yaitu “menerima permohonan banding dari Para Pembanding I dan Para Pembanding II tersebut… Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 146/G/2021/PTUN.JKT tanggal 20 April 2022 yang dimohonkan banding”.
Dalam pokok perkara putusan, majelis hakim menyatakan batal Surat Keputusan Menteri ESDM tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe dan mewajibkan Terbanding I (Menteri ESDM) untuk mencabut Surat Keputusan Menteri ESDM tersebut.
Kementerian ESDM dan PT TMS lalu mengajukan kasasi ke MA. Dikutip dari situs Mahkamah Agung, majelis hakim yang diketuai oleh Sudaryono menguatkan putusan PTTUN dan menolak kasasi Kementerian ESDM serta TMS.
‘TMS tak memiliki legitimasi hukum maupun sosial di Sangihe’
Kepala Divisi Hukum JATAM yang juga menjadi tim kuasa hukum penggugat, Muhammad Jamil, mengatakan putusan MA itu menguatkan bahwa TMS kini tidak lagi memiliki legitimasi – baik secara hukum maupun sosial- di Pulau Sangihe karena izin perusahannya berupa kontrak karya telah dinyatakan batal oleh hukum.
“Putusan MA ini menguatkan bahwa SK Menteri ESDM harus dicabut dan mengabulkan permohonan yaitu penundaan seluruh aktivitas TMS. Artinya, mau mereka mengajukan peninjauan kembali [PK], TMS wajib segera menghentikan seluruh aktivitas pertambangan, bahkan wajib mengangkat seluruh alat berat dari sana,” kata Jamil.
Jamil menegaskan, jika TMS tetap melakukan pertambangan maka mereka masuk dalam kategori pertambangan ilegal karena izinnya telah dinyatakan batal oleh peradilan tertinggi di Indonesia.
“Di UU minerba, setiap kegiatan aktivitas pertambangan, wajib memiliki izin, kalau tidak ada izin maka masuk dalam kategori pertambangan illegal, dan itu pidana,” katanya.
Pasal 158 UU Nomor 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan, setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.
Jamil pun meminta Kementerian ESDM untuk mematuhi putusan MA dengan cara segera mengeluarkan surat keputusan pembatalan atau pencabutan, dan bersatu dengan warga untuk menghentikan kegiatan TMS di Pulau Sangihe.
“Ini putusan tertinggi peradilan. Tidak elok kalau kemudian kementerian kita juga menjadi pihak ingkar terhadap putusan dan perintah peradilan. Dengan cara apalagi kita membuat diri sebagai bangsa beradab kalau putusan peradilan tidak bisa memaknai sebagai konsensus tertinggi yang harus ditaati bersama,” katanya.
‘Pertambangan di pulau kecil dilarang’
Sumber gambar, Save Sangihe Island (SSI)
Sekelompok warga Sangihe berdemo di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta.
Selain itu, Jamil mengatakan, putusan MA ini juga menjadi penegasan bahwa kegiatan pertambangan di seluruh pulau kecil di Indonesia adalah terlarang.
Jamil merujuk pada putusan tata usaha negara yang bersifat erga omnes, yaitu tidak hanya mengikat bagi pihak yang mengajukan, tapi juga harus ditaati oleh siapapun, termasuk para pengambil kebijakan.
“Artinya dengan adanya putusan ini sesungguhnya seluruh kontrak pertambangan baik batubara maupi mineral yang diperpanjang tanpa menyesuaikan UU Minerba itu cacat yuridis sehingga harus dibatalkan,” katanya.
Sebelumnya, MA juga pernah membatalkan izin usaha pertambangan di Pulau Bangka, Sulawesi Utara, pada tahun 2016.
Gugatan izin lingkungan ke PTUN Manado
Sumber gambar, ANTARA FOTO/ADWIT B PRAMONO
Sejumlah aktivis membentangkan spanduk tuntutan aksi di Kantor Gubernur Sulut, Manado, Sulawesi Utara, Senin (21/06/21).
Selain gugatan terhadap Surat Keputusan Menteri ESDM itu, sekelompok warga Sangihe juga telah mengajukan gugatan izin lingkungan TMS ke PTUN Manado.
Mereka yang terdiri dari 56 perempuan warga Sangihe menggugat Surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Daerah Sulawesi Utara tentang Pemberian Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Emas TMS.
Lalu, mereka juga menggugat Surat Keputusan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sulut perihal Pertimbangan Teknis Penerbitan SKKL dan Izin Lingkungan Penambangan Emas TMS.
Gugatan mereka dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado, Sulawesi Utara, Kamis (02/06/22). Namun, pihak perusahaan TMS mengajukan banding dan menegaskan akan terus beroperasi, merujuk pada izin operasi yang dikeluarkan pemerintah pusat.
“Selama izin operasional penambangan PT TMS tidak dibatalkan oleh Pengadilan PTUN Jakarta maka PT TMS masih sah beroperasi,” kata perwakilan perusahaan BBC News Indonesia.
Dalam perkembangannya, langkah banding yang diajukan TMS dikabulkan oleh PTTUN Makasar. Para penggugat lalu mengajukan kasasi, namun pada 22 Desember 2022, Mahkamah Agung menolak kasasi tersebut.
Walau kasasi TMS tentang izin lingkungan dimenangkan oleh keputusan MA, Jamil mengatakan bahwa perusahaan tetap tidak bisa melakukan kegiatan penambangan.
“Izin lingkungan itu tidak bisa digunakan untuk melakukan penambangan karena izin usahanya telah dibatalkan oleh MA. Pertambangan harus memiliki izin lengkap, tidak boleh hanya satu,” ujarnya.
Perempuan penggugat izin lingkungan TMS: ‘Ini kemenangan masyarakat Sangihe’
Wulandari Anjeli Manossoh, 30 tahun, adalah warga Kampung Bowone, Sangihe – salah satu titik yang akan menjadi lokasi pertambangan emas TMS.
Berdasarkan hasil eksplorasi perusahaan, di Bowone dan Binebas, menurut sumber daya terunjuk, terdapat potensi 114.700 ons emas dan 1,9 juta ons perak. Ditambah, 105.000 ons emas dan 1,05 juta ons perak berdasarkan sumber daya tereka.
Anjeli bersama 55 perempuan dari kampungnya dan juga Kampung Binebas meninggalkan tempat tinggalnya ke ibu kota Sulawesi Utara untuk mencari keadilan ke PTUN Manado – mereka menggugat izin lingkungan TMS yang diterbitkan DPMPTSP Sulawesi Utara.
Sumber gambar, ONES
Kepingan emas.
“Kami sebagai perempuan, ibu rumah tangga, memakai air untuk masak dan minum. Kalau sudah tercemar dengan logam berat, hidup kami akan hancur, dan juga masa depan anak-anak kami,” kata Anjeli kepada wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, 6 Juni 2022 lalu.
Setelah melalui proses persidang berbulan-bulan, Anjeli merasa bahagia dan bersyukur karena gugatan mereka dikabulkan PTUN Manado.
“Izin lingkungan disusun dan diterbitkan tidak melalui prosedur yang tepat, masyarakat tidak dilibatkan. Tiba-tiba mereka (TMS) sudah punya izin,” kata Anjeli.
Majelis hakim PTUN Manado, Kamis (02/06) telah mengeluarkan putusan yang berisi, yaitu mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Kepala Dinas DPMPTSP Sulawesi Utara tentang pemberian izin lingkungan kegiatan penambangan emas PT TMS.
PTUN Manado juga memerintahkan kepada Kepala Dinas DPMPTSP untuk menunda pelaksanaan keputusan pemberian izin lingkungan itu hingga putusan berkekuatan tetap atau ada penetapan lain yang mencabutnya di kemudian hari.
‘Kontrak Karya TMS batal demi hukum’
Juru bicara gerakan Save Sangihe Island Samsared Barahama.
Juru bicara gerakan Save Sangihe Island Samsared Barahama mengatakan, izin lingkungan yang dikeluarkan DPMPTSP Sulut menjadi dasar diterbitkannya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 163.K/MB/04/DJB/ 2021 Tanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya Tambang Mas Sangihe.
Dalam kontrak karya itu, TMS berhak mengeksploitasi emas dan tembaga di enam kecamatan yang terbagi menjadi 80 kampung selama 33 tahun ke depan, dengan wilayah kontrak karya seluas 42.000 hektare atau sekitar setengah pulau.
Samsared mengatakan, putusan PTUN Manado memiliki implikasi pada legalitas kontrak karya TMS yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM.
“Jadi kalau izin lingkungannya dicabut maka otomatis SK Menteri ESDM itu batal demi hukum atau gugur dengan sendirinya karena landasan dari SK itu adalah izin lingkungan dari Pemprov Sulut. Sekarang kami mengawal agar putusan PTUN itu mendapatkan kekuatan hukum tetap,” kata Samsared.
Samsared menambahkan, putusan PTUN Manado juga meminta aktivitas tambang TMS dihentikan karena tidak memiliki izin lingkungan.
“Jika [aktivitas TMS] terus berlangsung, TMS bekerja tanpa izin lingkungan, itu adalah tindakan melanggar hukum, dan aparat penegak hukum harus bertindak atas nama putusan pengadilan karena segala aktivitas harus dihentikan,” katanya yang menyebut TMS tengah melakukan pembangunan infrastruktur di Kampung Bowone.
Gunung Sahendaruman yang terletak di selatan Pulau Sangihe, masuk dalam wilayah izin tambang emas.
Senada, pakar hukum lingkungan dari Universitas Sam Ratulangi, Deny Karwur, mengatakan keputusan PTUN Manado secara otomatis membatalkan aturan-aturan yang terkait, seperti izin operasi dari Kementerian ESDM.
“Jika izin lingkungan dibatalkan, berarti aturan lain yang mengikuti atau berlandaskan izin lingkugan itu, seperti SK Menteri juga batal secara hukum, secara otomatis itu,” katanya kepada wartawan di Manado, Trisno Mais yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (06/06).
Sebelumnya, seorang ibu rumah tangga Elbi Pieter dan enam warga Sangihe mengajukan gugatan atas SK Menteri ESDM itu di PTUN Jakarta, namun gugatan itu ditolak oleh majelis hakim. Kini, kasus itu sedang di tahap banding di Pengadilan Tinggi TUN Jakarta.
Tim hukum Save Sangihe Island yang juga Kepala Divisi Hukum Jatam, Muhammad Jamil, mengatakan dalam sistem usaha pertambangan, suatu perusahaan dapat beroperasi jika memiliki izin lingkungan.
“Ketika tidak ada izin lingkungannya itu seperti ‘manusia tanpa kepala’. Tidak bisa beroperasi, walaupun ada SK Menteri dan surat-surat lainnya, karena dasar SK Menteri itu adalah izin lingkungan,” kata Jamil.
TMS: ‘Kami sah beroperasi’
Sumber gambar, AFP
Kegiatan eksplorasi PT. TMS di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara.
Juru bicara dari TMS, Cesylia Saroinsong, menegaskan hingga kini perusahaannya masih dan akan terus beroperasi.
“Benar PTUN Manado menunda izin lingkungan PT TMS, tapi dasar operasi PT. TMS adalah surat Izin Operasi dari pusat yg digugat di PTUN Jakarta.”
“Selama izin operasional penambangan PT TMS tidak dibatalkan oleh Pengadilan PTUN Jakarta maka PT TMS masih sah beroperasi,” kata Cesylia melalui pesan singkat kepada BBC News Indonesia.
Dalam kontrak karya yang dikeluarkan Kementerian ESDM, TMS berhak mengeksploitasi emas dan tembaga selama 33 tahun ke depan, dengan wilayah kontrak karya seluas 42.000 hektare atau sekitar setengah pulau.
Area izin usaha TMS mencakup hampir setengah wilayah Pulau Sangihe, Sulawesi Utara.
Sebelumnya kepada BBC News Indonesia, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Ridwan Djamaluddin mengatakan, wilayah kontrak karya seluas 42.000 hektare adalah luas wilayah izin usaha yang akan mengecil seiring dilakukannya studi kelayakan dan kandungan mineral lanjutan di dalamnya.
“Misalnya dari luas wilayah 100 hektare kemudian diteliti dan tinggal misalnya 25 hektare, di situ kerjanya, jadi akan ada pertimbangan-pertimbangan teknis,” kata Ridwan.
Sebaliknya, wilayah pertambangan juga bisa meluas dari 65,48 hektare jika ditemukan potensi kandungan mineral di dalam wilayah izin 42.000 hektare tersebut selama 33 tahun mendatang.
Pemprov Sulut akan banding
Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara menyatakan akan melakukan banding terhadap keputusan PTUN Manado yang memenangkan gugatan 56 perempuan Sangihe.
“Karena upaya hukum itu masih ada di banding dan kasasi. Maka torang (kami) mengajukan untuk mengadakan banding,” Kepala Biro Hukum Pemprov Sulawesi Utara, Flora Krisen.
“Dan, sementara disiapkan, sambil berkoordinasi dengan PTUN berkaitan dengan penyampaian hasil putusan kepada para pihak, termasuk torang (kami),” katanya.
Flora menambahkan, alasan mengajukan banding adalah,”kami merasa bahwa izin lingkungan itu diterbitkan atas dasar kajian yang sudah komprehensif, maka kami merasa bahwa kami perlu untuk menempuh upaya hukum lanjutan,” ujarnya.
Saat ditanya apakah kegiatan aktivitas TMS akan dihentikan merujuk pada putusan PTUN Manado, Flora mengatakan, kegiatan TMS di Sangihe kini masih dalam persiapan dilakukannya pertambangan, seperti pembukaan jalan dan infrastruktur, sementara untuk eksploitasi belum dilakukan.
‘Terobosan dan angin segar’ bagi pejuang lingkungan
Sumber gambar, Jatam
Di Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara, pertambangan menyebabkan pencemaran lingkungan.
Kepala Divisi Hukum Jatam, Muhammad Jamil menegaskan, putusan PTUN Manado merupakan ‘angin segar’ bagi masyarakat Indonesia yang tengah memperjuangkan hak-hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Putusan ini luar biasa sekali. Pertama penggugat adalah 56 orang perempuan yang memperjuangkan hak lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Kedua, ini menjadi terobosan dan angin segar bagi teman-teman di seluruh Indonesia yang sedang berjuang dari kepungan industri tambang, khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,” kata Jamil.
“Ditambah, yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Putusan di Sangihe ini tidak hanya menggagalkan izin, tapi juga memerintahkan operasi kegiatan juga dihentikan, dikabulkan permintaan (penggugat) atas penundaan aktivitas perusahaan,” kata Jamil.
Jamil menambahkan, putusan ini juga membuktikan bahwa “keputusan pemerintah bukan sesuatu yang sakral atau kitab suci yang tidak bisa diubah. Tapi sebaliknya, justru bisa dikoreksi.”
Walaupun demikian, tambah Jamil, perjuangan warga Sangihe belum berakhir karena masih ada proses hukum lanjutan yang semakin harus dilewati demi mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Ditambah lagi, sering kali putusan PTUN tidak langsung dieksekusi oleh pemerintah.
“Kemenangan ini masih di atas kertas karena belum tentu pemerintah eksekusi secara langsung, karena biasanya mereka mencari-cari alasan untuk tidak mengeksekusi,” ujarnya.
Dalam catatan Jatam, setidaknya ada 55 pulau kecil yang telah terkavling-kavling oleh pertambangan, walau UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil telah melarangnya.
[ad_2]
Source link