[ad_1]
- Zubaidah Abdul Jalil
- BBC News
Empat aktivis demokrasi dieksekusi mati oleh militer Myanmar, Senin (25/07). Peristiwa ini diyakini sebagai penggunaan hukuman mati pertama di negara tersebut dalam beberapa dekade terakhir.
Empat orang yang dieksekusi mati itu adalah mantan anggota parlemen Phyo Zeya Thaw, serta penulis sekaligus aktivis Ko Jimmy, Hla Myo Aung, dan Aung Thura Zaw. Mereka dihukum dengan tuduhan melakukan aksi teror.
Ibu Zeya Thaw, Khin Win May, berkata terakhir kali berkomunikasi dengan putranya Jumat pekan lalu, melalui sambungan video Zoom. Dalam percakapan itu, dia tidak mengira anaknya akan dieksekusi tiga hari setelahnya.
“Saat kami bertemu di Zoom, anak saya sehat dan tersenyum. Dia meminta saya untuk mengirim kacamata baca, kamus, dan sejumlah uang untuk digunakan di penjara, jadi saya mengumpulkan barang-barang itu dan membawanya ke penjara hari ini,” ujarnya kepada BBC Burmese, Senin pagi tadi.
“Itulah sebabnya saya tidak berpikir mereka akan membunuhnya. Saya tidak percaya apa yang terjadi.
“Saya ingin mengatur pemakaman menurut adat istiadat, jadi saya perlu tahu hari apa dan bagaimana pelaksanaannya.
“Saya meminta otoritas penjara untuk mengembalikan tubuh atau abunya, tapi otoritas penjara menjawab bahwa hari eksekusi hanya dicatat pada akhir pekan,” kata Win Tint.
Eksekusi mati terhadap empat aktivis demokrasi yang diumumkan oleh militer Myanmar Juni lalu ini juga mengundang kecaman internasional. Hukuman mati ini terjadi dalam rentetan peristiwa terkait kudeta militer tahun lalu.
“Pemerintah bayangan” Persatuan Nasional Myanmar (NUG), yang dibentuk untuk menentang kudeta, mengutuk eksekusi itu dengan berkata bahwa mereka sangat terkejut dan terpukul.
“Pemerintah bayangan” terdiri dari sejumlah tokoh pro-demokrasi, perwakilan kelompok etnis bersenjata, dan anggota NLD. Mereka mendesak masyarakat internasional untuk “menghukum junta militer atas kekejaman dan pembunuhan”.
Kantor berita yang dikelola pemerintah junta militer, Global News Light of Myanmar, menyebut empat aktivis itu dieksekusi karena terbukti memberi arahan, mengatur, dan melakukan konspirasi untuk tindakan teror brutal dan tidak manusiawi.
Keempatnya didakwa melanggar Undang-Undang Antiterorisme. Namun tidak dikabarkan secara detail tentang kapan atau bagaimana mereka dieksekusi.
Eksekusi tersebut adalah yang pertama di Myanmar sejak tahun 1988, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa. Orang terakhir yang menjalani hukuman ini mati dengan cara digantung.
Anggota keluarga dari empat aktivis yang dieksekusi mati saat ini sedang menunggu di Penjara Insein, Yangon, untuk mendapat konfirmasi dari pihak berwenang.
Pihak keluarga, kata saudara perempuan Ko Jimmy, belum menerima jenazah mereka.
Istri Phyo, Thazin Nyunt Aung, belum diberitahu tentang eksekusi suaminya, menurut laporan kantor berita Reuters. Semua keluarga telah mengajukan permohonan untuk mendapat informasi tentang eksekusi.
Keempat aktivis itu dijatuhi hukuman mati pada Januari lalu. Mereka menjalani persidangan tertutup yang dikritik kelompok hak asasi manusia sebagai proses tidak adil dan tidak transparan.
Profil aktivis yang dieksekusi mati
Phyo Zeya Tha dan Kyaw Min Yu, juga dikenal sebagai Ko Jimmy, kalah banding atas hukuman mereka, Juni lalu.
Ko Jimmy, 53 tahun, adalah seorang veteran Kelompok Mahasiswa Generasi ke-88. Ini adalah gerakan pro-demokrasi Myanmar yang dikenal karena aktivisme mereka melawan junta militer negara itu dalam pemberontakan mahasiswa tahun 1988.
Ko Jimmy menjalani periode pemenjaraan karena keterlibatannya dalam gerakan pro-demokrasi. Dia dibebaskan pada tahun 2012.
Namun dia ditangkap pada Oktober 2021, setelah dituduh menyembunyikan senjata dan amunisi di sebuah apartemen di Yangon. Dia juga dituding menjadi penasihat bagi “pemerintah bayangan”.
Phyo Zeya Thaw, 41 tahun, adalah mantan anggota parlemen NLD dan sekutu dekat Suu Kyi.
Pernah berkarier sebagai seorang penyanyi hip-hop, dia sering memicu kemarahan junta karena lirik lagunya yang antimiliter. Dia ditangkap pada bulan November 2021 atas dugaan pelanggaran regulasi antiteror.
Sementara itu, sedikit yang diketahui tentang dua aktivis lain yang dieksekusi Senin ini, yaitu Hla Myo Aung dan Aung Thura Zaw. Mereka dijatuhi hukuman mati atas tuduhan membunuh seorang perempuan yang diduga menjadi informan junta.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menyebut keputusan militer untuk menghukum mati keempat aktivis itu sebagai “pelanggaran terang-terangan terhadap hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan pribadi”.
Otoritas militer Myanmar terus mengeluarkan kebijakan keras terhadap milisi lokal, aktivis oposisi, dan orang-orang yang dianggap menyimpan sentimen antikudeta.
Pemerintah junta militer selama ini membuat klaim bahwa pemilu yang dimenangkan Suu Kyi berlangsung dengan kecurangan. Tuduhan ini dibantah para pejabat komisi pemilihan umum karena tidak ada bukti kecurangan.
Sejak kudeta, Suu Kyi menjadi tahanan rumah. Dia juga menghadapi sejumlah tuduhan, dari korupsi hingga melanggar undang-undang rahasia resmi negara. Jika dihukum bersalah, dia bisa menjalani penjara hingga 150 tahun.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), yang mencatat jumlah korban tewas, dipenjara atau ditahan oleh militer Myanmar, mengatakan bahwa 14.847 orang telah ditangkap sejak kudeta. Ada perkiraan bahwa 2.114 orang telah dibunuh oleh pasukan militer.
[ad_2]
Source link