Berita Maluku Tengah, Masohi – Keberhasilan pembangunan belum dirasakan sebagian besar warga negeri adat diatas tanah leluhur Pulau Seram, Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Di usia 79 Tahun Indonesia Merdeka, potret pembangunan terutama untuk warga negeri Kaloa, Elemata, Hatuolo, Maraina dan Manusela, jauh panggang dari api.
Meski keberadaan mereka telah ada jauh sebelum negara ini secara de fakto diproklamirkan bebas dan berdaulat, namun kehidupan mereka masih jauh dari perhatian pemerintah. Warga pulau Ibu yang mendiami kawasan pegunungan Manusela ini masih terisolasi akses pembangunan.
Warga menjerit lantaran akses jalan dari dan menuju ke lima desa jauh dari kata sempurna. Ada jalan sirtu yang dibangun sejak 2014, tetapi kondisinya rusak parah.
Mereka merindukan pembangunan yang lebih layak agar setara dengan warga yang lain yang saat ini sudah bisa menikmati akses transportasi, komunikasi, layanan listrik, kesehatan dan juga pendidikan yang layak.
10 tahun belakangan, warga Maluku Tengah terhipnotis dengan takeline Pemda Maluku Tengah yang ingin menjadikan Bumi Pamahanu Nusa sebagai Jendela Indonesia Timur.
Takaline ini berbanding terbalik dengan kondisi real yang dipotret DMS Media Group, saat melihat puluhan warga pedalaman bergantian menggotong saudaranya yang menderita sakit untuk berobat ke Puskesmas di Kecamatan Utara.
Adalah Thadius Ilela warga Maraina harus digotong selama empat hari perjalanan. Warga menyusuri hutan dengan jalanan berbukit dan terjal agar bisa sampai di pusat pelayanan kecamatan.
Miriiss memang. Untuk mendapatkan layanan kesehatan yang mumpuni, warga mesti menguras tenaga membopong Thadius puluhan kilo, melawan terjangan derasnya aliran sungai besar.
Pengorbanan atas nama kemanusian tidak bisa dibayar dengan uang atau apapun. Satu tekad mereka siapapun yang mereka bopong karena sakit harus sembuh. Kendati harus berjalan puluhan kilo dan butuh berhari-hari untuk tiba pusat pelayanan kesehatan.
Puluhan tahun warga butuh keadilan. Mereka belum merdeka secara pembangunan, Kue pembangunan yang mestinya mereka rasakan jauh panggang dari api.
Sumber daya alam dan hasil bumi sangat melimpah menjadi andalan sumber pencaharaian demi menopang kehidupan mereka, terkadang tak bisa dijual, jika musim penghujan seperti saat ini.
Hasil bumi yang ingin dijual ke kota harus mereka tandu berpuluh kilometer. Setiap pijakan kaki naik turun pegunungan melewati tepian perbuktian menyusuri jalan berbatu dengan batang pohon yang melintang ditengah jalan, sangat beresiko dan berbahaya.
Kondisi ini setidaknya bisa segera diperbaiki agar masyarakat dapat merasakan lesatnya kue pembangunan seperti yang dirasakan warga di tempat lain.DMS