Lombok Timur (DMS) – Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, menilai aparat penegak hukum belum optimal menerapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), terutama dalam kasus perkawinan anak.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Lombok Timur, Ahmat, menyebut banyak kasus kekerasan terhadap anak yang justru diselesaikan melalui mediasi, bukan proses hukum.
“Pemerintah sudah membuat banyak regulasi. Tapi masih banyak aparat hukum yang enggan bertindak. Kasus pencurian ayam bisa diproses, tapi pelanggaran hak anak seperti perkawinan usia dini malah dimediasi karena alasan tak ada saksi. Padahal, pelapor seharusnya sudah cukup,” ujar Ahmat di kantornya, Jumat (13/6).
Menurutnya, laporan yang sudah diajukan ke kepolisian sering kali tidak ditindaklanjuti dengan alasan kurang bukti atau saksi.
Pemkab Lombok Timur, lanjut Ahmat, telah menunjukkan komitmen kuat dalam mencegah perkawinan usia anak. Sejak 2021, Bupati Lombok Timur saat itu, Haerul Warisin, telah menginstruksikan camat dan kepala desa untuk menyusun peraturan desa yang melarang perkawinan anak.
Selain itu, terdapat Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pencegahan Perkawinan Anak. Di tingkat provinsi, upaya tersebut didukung Peraturan Daerah (Perda) tentang Penundaan Usia Perkawinan.
“Komitmen pemerintah jelas dan tegas. Tapi harus didukung oleh semua pihak, termasuk penegak hukum,” tegasnya.DMS/AC