Jakarta, (DMS) – Presiden Prabowo Subianto mengimplementasikan kebijakan penghematan belanja negara yang cukup radikal untuk APBN 2025.
Pemerintah mencatatkan penghematan besar mencapai Rp306,69 triliun. Untuk mendukung langkah ini, Presiden Prabowo mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 mengenai efisiensi belanja negara dan daerah.
Penghematan anggaran ini dipicu oleh kebutuhan besar untuk mendanai program-program ambisius pemerintahan Prabowo, salah satunya adalah program “makan bergizi gratis”.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengonfirmasi instruksi tersebut, dengan menekankan bahwa fokus anggaran akan diarahkan pada hal-hal yang memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.
Selain itu, penghematan ini juga bertujuan untuk menanggulangi beban utang yang cukup besar, terutama utang yang jatuh tempo pada 2025, yang diperkirakan mencapai Rp800,33 triliun.
Di sisi lain, bunga utang untuk tahun ini mencapai Rp552,9 triliun, dengan total utang era Jokowi yang harus dilunasi mencapai Rp1.353 triliun pada tahun pertama kepemimpinan Prabowo.
Pascakeluar Inpres ini, pemangkasan belanja dilakukan pada 16 pos khusus, kecuali belanja pegawai dan bantuan sosial (bansos).
Meskipun demikian, beberapa kementerian dan lembaga (K/L) melaporkan adanya pengurangan anggaran yang tiba-tiba, dengan salah satunya adalah pengurangan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum (PU) yang hilang sebesar Rp81 triliun.
Selain itu, isu penghapusan gaji ke-13 dan tunjangan hari raya (THR) bagi pegawai negeri sipil (PNS) muncul, meski Sri Mulyani telah membantah hal tersebut.
Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, mengungkapkan bahwa beberapa kementerian merasa terdesak dengan target penghematan dan cenderung memotong anggaran pada pos-pos yang dianggap lebih mudah, seperti gaji PNS dan tunjangan lainnya.
Menurut Andri, pengurangan anggaran secara sepihak ini bisa merusak prinsip Trias Politika pemerintahan, yang seharusnya memberi peran utama kepada DPR dalam mengatur anggaran.
Penghematan yang terfokus pada pemotongan belanja K/L sebesar Rp256,1 triliun dan pemotongan dana transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp50,59 triliun juga berisiko memperburuk kondisi ekonomi daerah.
Peneliti Next Policy, Shofie Azzahrah, menyatakan bahwa dampak dari kebijakan penghematan ini bisa merembet ke sektor-sektor penting lainnya, seperti kesejahteraan PNS dan operasional kementerian.
Penghematan besar-besaran berisiko mengurangi daya beli masyarakat, memperlemah aktivitas usaha, serta meningkatkan angka pengangguran.
Selain itu, kebijakan ini dapat menurunkan permintaan barang dan jasa, yang berdampak pada sektor ritel, UMKM, hingga industri manufaktur.
Di sisi lain, langkah menghapus biaya perjalanan dinas dinilai bisa memberikan dampak buruk bagi sektor-sektor yang bergantung pada kegiatan tersebut, seperti perhotelan, transportasi, dan restoran.
Kepala Center Makroekonomi dan Keuangan INDEF, M Rizal Taufikurahman, menyarankan agar pemerintah lebih selektif dalam mengurangi anggaran perjalanan dinas, dengan hanya mempertahankan yang paling esensial untuk efisiensi tanpa merusak sektor-sektor pendukung ekonomi.
Taufikurahman juga menekankan bahwa pengurangan anggaran yang dilakukan secara tidak selektif bisa menurunkan daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan efisiensi anggaran tidak mengganggu sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Secara keseluruhan, kebijakan penghematan yang dilakukan oleh pemerintahan Prabowo berpotensi menimbulkan dampak yang luas, baik dalam hal pengurangan daya beli masyarakat, gangguan sektor-sektor pendukung ekonomi, hingga penurunan kualitas layanan publik.
Jika tidak diimbangi dengan strategi yang matang, kebijakan ini bisa memperburuk kondisi perekonomian Indonesia dalam jangka panjang. DMS/CC