Jakarta (DMS) – Rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memberlakukan tarif tambahan sebesar 32 persen atas seluruh impor dari Indonesia mulai 1 Agustus 2025 dinilai mengancam keberlanjutan sektor perikanan nasional. Para petambak dan nelayan disebut menjadi kelompok paling terdampak atas kebijakan tersebut.
Selama ini, Amerika Serikat merupakan salah satu pasar utama bagi ekspor produk perikanan Indonesia, khususnya untuk komoditas krustasea dan moluska olahan serta krustasea beku. Nilai ekspor kedua komoditas ini pada 2024 tercatat mencapai US$1,43 miliar dari total ekspor perikanan RI ke AS yang sebesar US$1,92 miliar.
Ketua Bidang Perikanan dan Peternakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hendra Sugandhi, menilai tarif tambahan tersebut berpotensi melemahkan daya saing produk perikanan RI di pasar global.
“Tarif Trump 2.0 ini merupakan guncangan eksternal yang sulit dihindari. Diperlukan langkah adaptif dan resiliensi dari semua pemangku kepentingan untuk menjaga keberlangsungan sektor ini,” kata Hendra, dikutip Kamis (10/7/2025).
Menurut Hendra, Indonesia perlu segera memperkuat aspek internal, seperti deregulasi dan penyederhanaan perizinan, sebagai bagian dari strategi untuk menjaga daya saing ekspor. Selain itu, diversifikasi pasar ekspor dan perluasan kerja sama perdagangan bebas (FTA) juga menjadi hal penting.
Meski hilirisasi menjadi salah satu strategi yang banyak didorong pemerintah, Hendra menekankan bahwa pendekatan ini tidak selalu cocok untuk komoditas perikanan, terutama udang.
“Produk seperti udang head-on segar justru memiliki nilai jual tertinggi. Semakin diproses, nilainya bisa justru menurun. Jadi hilirisasi bukan satu-satunya solusi,” jelasnya.
Hendra mencontohkan Ekuador sebagai negara yang berhasil meningkatkan ekspor perikanannya ke AS melalui efisiensi biaya dan penguatan sistem produksi. Ia menilai Indonesia bisa belajar dari strategi tersebut.
Di sisi lain, akses pasar RI ke kawasan Uni Eropa juga masih terbatas, karena perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif (CEPA) belum tercapai dan sanksi moratorium izin baru dari otoritas pangan Uni Eropa masih berlaku akibat temuan audit tahun 2017.
Hendra mengungkapkan sekitar 64 persen ekspor udang Indonesia bergantung pada pasar AS. Dengan adanya tarif tambahan 32 persen, importir diperkirakan akan menekan harga beli, yang pada akhirnya berdampak langsung kepada petambak.
“Jika harga ditekan, petambak yang paling dirugikan. Pendapatan menurun, daya beli melemah, investasi berkurang, dan standar internasional sulit dipenuhi. Dalam jangka panjang, produksi perikanan bisa menyusut,” ujarnya.
Untuk itu, Hendra menilai pemerintah harus segera memangkas berbagai beban biaya tinggi yang ditanggung petambak dan nelayan demi menjaga ketahanan sektor perikanan.
“Kalau petambak dan nelayan kuat, industri di hilir juga akan ikut tumbuh. Semua biaya ekonomi tinggi harus dihapus supaya kita bisa bersaing,” pungkasnya.DMS/CNBC