[ad_1]
- Steve John Powell dan Angeles Marin Cabello
- BBC Culture
Ada keindahan dan ketenangan yang bisa ditemukan pada taman Zen. Akan tetapi, ruang-ruang penuh teka-teki ini juga mengungkapkan kepercayaan yang penuh akan filosofi, tulis Steve John Powell dan Angeles Marin Cabello.
Bagi kebanyakan tukang kebun, bebatuan – juga siput, lalat hitam dan rumput liar – adalah hama, sesuatu yang harus dibasmi.
Namun di Jepang, beberapa taman yang paling menakjubkan terdiri dari bebatuan dan hanya bebatuan saja.
Seperti yang ditulis oleh penulis abad ke-19 Lafcadio Hearn: “untuk memahami keindahan taman Jepang, diperlukan pemahaman tentang keindahan batuan.”
Batu-batuan merupakan elemen vital di taman Jepang manapun, dan ekspresi tertinggi dari keindahan batu terletak pada sekitei atau taman batu, yang berupa hamparan kerikil putih, dihiasi dengan batu yang ditempatkan secara strategis.
Namun apa yang terdapat di taman tersebut sebenarnya lebih jauh daripada sekadar keindahan belaka.
Langdon Warner, seorang penjelajah dan sejarawan seni (inspirasi untuk karakter Indiana Jones) mengamati bahwa taman Jepang dirancang “untuk mengekspresikan kepercayaan tertinggi akan agama dan filsafat, persis seperti peradaban lain yang memanfaatkan seni sastra dan filsafat”.
Sekitei pertama kali populer pada Era Kamakura (1185-1333), pasca kedatangan kepercayaan Buddha Zen dari Tiongkok pada akhir abad ke-13.
Kebun-kebun ini terus berkembang pada periode Muromachi (1333-1573).
Zen menekankan pentingnya meditasi, serta pandangan akan kesederhanaan dan penuh perhatian.
Selama periode Muromachi, kesenian yang berhubungan dengan Zen mengalami perkembangan pesat, termasuk kaligrafi, upacara minum teh, merangkai bunga, bela diri, dan berkebun lanskap.
Sebelumnya, taman-taman Era Heian (794-1185) merupakan rekreasi mewah yang menawarkan gambaran tentang nirwana menurut kepercayaan Buddha. Para tuan dan nyonya Istana Kekaisaran akan pergi berperahu ke sana di tengah keindahan mewah tersebut.
Zen dengan cepat dianut oleh samurai, yang diidentifikasi dengan penekanannya pada kesederhanaan, disiplin diri, serta pentingnya meditasi untuk menemukan jati diri seseorang, tidak terganggu oleh kesombongan, harta benda, dan segala hal yang berbau duniawi.
Beberapa samurai juga mengabdikan diri mereka pada seni upacara minum teh dan berkebun lanskap yang terinspirasi Zen, seperti sosok Ueda Soko (1563-1650) misalnya.
Ia tidak hanya mendirikan gaya upacara minum tehnya sendiri yang masih dipraktikkan sampai sekarang, tetapi juga merancang Taman Shukkeien yang menakjubkan di Hiroshima.
Mungkin terkesan aneh bahwa para prajurit yang ganas juga menyukai teh dan berkebun.
Akan tetapi seperti yang ditulis Trevor Legget dalam buku Introduction to Zen Training (Tuttle): “Hampir semua prajurit ialah orang-orang yang berbudaya, penyair dan seniman, dengan pekerjaannya yang kerap kali diterangi oleh pelatihan Zen mereka.”
Zen, sejatinya bukan hanya tentang duduk bersila dan bermeditasi (zazen atau meditasi duduk) saja.
Segala bentuk kegiatan, mulai dari menyapu taman, memotong sayuran, hingga upacara minum teh, ikebana (mengatur bunga), dan berkebun lanskap, semuanya dianggap sebagai praktik disiplin Zen yang bertujuan untuk memusatkan pikiran dan bergerak menuju kebangkitan spiritual.
Perancang taman Zen kontemporer terkemuka Jepang, Masuno Shunmyo, seorang biksu Zen generasi ke-18, menjelaskan hubungan antara Zen dengan kesenian tersebut:
“Melalui praktik pertapaan Zen, ditemukan emosi pikiran yang tidak dapat diungkapkan atau dipahami secara langsung.
“Karena itu, seseorang harus menemukan cara untuk mengkomunikasikan emosi ini kepada yang lainnya. Artinya, ‘ekspresi diri sendiri’.
“Pendeta Zen secara tradisional beralih ke seni klasik seperti kaligrafi, ikebana, dan penempatan batu.”
Ketika Anda mengunjungi taman Zen untuk yang pertama kali, sulit untuk menghindari rasa kagum saat melihat kerikil yang tertata rapi – dalam garis bergelombang, garis lurus atau lingkaran konsentris – hanya dipatahkan oleh beberapa batu, mungkin satu atau dua semak atau rumpun lumut, dan tiada berbunga.
Secara intuitif, Anda tahu bahwa Anda berada di hadapan sesuatu yang mendalam dan kuat, yang dirancang “untuk memberikan kesan tepat bagi orang yang melihat, sebelum dibuyarkan dengan penggambaran pribadi,” seperti yang dikatakan pelukis Joan Miró tentang seni, dalam bukunya: Painting and Anti-painting (MoMA).
Setelah refleksi turut campur tangan dalam benak Anda, akan timbul sebuah pertanyaan – apakah artinya ini?
Tertarik dengan gagasan bahwa taman bisa menjadi sesuatu yang perlu dipahami, ketimbang hanya dilihat untuk kesenangan belaka, kami memutuskan untuk mencari tahu secara persis apa yang coba disampaikan oleh sekitei.
Kami pernah mendengar beberapa orang mengatakan bahwa itu mewakili pulau-pulau yang mengambang di lautan. Sementara, yang lain mengklaim bahwa itu adalah versi 3D lukisan tinta tradisional Tiongkok dari lanskap gunung bergerigi. Lalu yang lainnya lagi menganggap bahwa itu melambangkan sesuatu yang jauh lebih dalam, bahkan mistis.
DT Suzuki (1870-1966) – otoritas Zen terkemuka di Jepang – menyatakan bahwa taman Jepang mengekspresikan semangat Zen.
Dibingungkan oleh kisah-kisah yang saling bertentangan ini, serta didorong oleh obsesi Barat akan rasionalitas, kami mengunjungi Saizoji, sebuah kuil Zen lokal di Hiroshima yang juga memiliki taman kerikilnya sendiri yang indah.
Petinggi kuil keluar untuk menyambut kami. Bersama beliau, kami memperbincangkan beberapa hal tentang berapa banyak pekerjaan yang dilibatkan dalam pemeliharaan kerikil.
Namun saat kami memintanya untuk menjelaskan arti dari taman tersebut, beliau menghela nafas, tersenyum, dan berkata, “Itu bukan sesuatu yang bisa Anda jelaskan. Anda harus mengalaminya sendiri.”
Lebih banyak tentang ini
Kami kemudian bertanya kepada Reina Ikeda, seorang akademisi lulusan Kyoto University of Foreign Study.
Bagaimanapun, Kyoto merupakan rumah bagi beberapa taman terindah di Jepang, yang disebut oleh Steve Jobs sebagai “hal paling agung yang pernah saya lihat.” Di sana, pemandangan alam kerikil dan batu di Kuil Ryoanji adalah yang paling terkenal, dan paling banyak dikunjungi.
“Arti dari taman Ryoanji masih menjadi misteri,” kata Ikeda.
“Ada 15 batu di taman, tetapi Anda hanya dapat melihat 14 batu sekaligus – dari sudut mana pun Anda melihat.
“Dalam budaya Asia Timur, angka 15 berarti ‘sempurna’, sedangkan angka 14 berarti ‘tidak sempurna’.
“Bagi orang Jepang, sesuatu menjadi indah justru karena tidak sempurna. Ide ini disebut wabi-sabi.”
Wabi-sabi adalah sebuah konsep yang menemukan keindahan dalam kesederhanaan pedesaan, pada benda-benda yang usang, tidak sempurna dan bersifat sementara.
Hal ini menanamkan landasan bagi banyak seni dan desain Zen. Jadi ketidaksempurnaan, jauh dari konsep negatif, adalah atribut dalam budaya Jepang.
Konsep kunci lain di taman Zen adalah banyaknya ruang kosong – murni dan tidak berantakan – cerminan bagaimana kondisi pikiran Anda saat bermeditasi.
Di Barat, kita begitu tidak nyaman dengan ruang kosong, sama seperti halnya dengan keheningan. Kita merasa terdorong untuk mengisi keduanya. Dalam Zen, ruang itu penting, bahkan indah, seperti yang ditunjukkan oleh dua konsep ma (interval atau ruang) dan yohaku no bi (keindahan kekosongan).
Menurut Mira Locher, arsitek, pendidik dan penulis dua buku tentang Shunmyō Masuno (Zen Garden Design, 2020, dan Zen Gardens – The Complete Works Of Shunmyō Masuno,2012):
“Konsep ma, menyiratkan adanya batas, sesuatu yang mendefinisikan interval atau ruang (misalnya, dua kolom).
“Di Barat, kita cenderung menganggap objek batas sebagai ‘positif’ dan ruang ‘negatif’.
“Akan tetapi, di taman Zen, ruang (ma) dipahami sebagai elemen positif, dan perancang taman menggunakan objek batas untuk membentuknya… itu adalah elemen penting di dalam taman.”
Locher melanjutkan: “Yohaku no bi adalah perangkat yang memungkinkan pikiran pemirsa untuk tenang.
“Tidak seperti ma, yang merupakan ruang tak berwujud, yohaku no bi biasanya diwakili oleh sesuatu yang nyata, seperti hamparan kerikil kacang putih.
“Kontras dari putihnya dan keseragaman kerikil yang disandingkan dengan bebatuan kasar atau tanaman hijau beraneka ragam menghasilkan rasa kekosongan, yang pada gilirannya memungkinkan pemirsa untuk ‘mengosongkan’ pikiran mereka.”
Jadi ruang yang tidak berantakan membantu membersihkan pikiran, memunculkan semacam kondisi meditasi.
Shunmyō Masuno adalah salah satu rasa yang menghilang, ishitate-so abad ke-21 (secara harfiah berarti “biksu perancang batu”), istilah penghormatan yang diberikan kepada biksu Zen perancang taman yang mencerminkan cita-cita Zen sebagai bagian dari praktik pertapaan mereka, dengan sangat penting diberikan untuk penempatan batu.
Berabad-abad yang lalu, banyak biksu seperti itu ada. Hari ini hanya tinggal segelintir.
Ketertarikan Masuno pada taman batu dimulai sejak, orang tuanya membawanya ke taman di Kuil Ryoanji, Kyoto semasa ia kecil.
“Itu semacam kejutan budaya,” tulisnya, “seolah-olah kepalaku dibelah dengan kapak”.
Hari ini desain pemenang penghargaannya dapat ditemukan di blok perkantoran, kompleks apartemen, dan tempat tinggal pribadi dari New York hingga Norwegia.
Masuno percaya bahwa taman Zen – meski yang kecil sekalipun – dapat memainkan peran penting di kota-kota saat ini, tidak hanya dalam mencerahkan lingkungan perkotaan, tetapi juga dalam membantu “memulihkan kemanusiaan masyarakat”.
Bagi mereka yang menghabiskan hari-hari mereka bekerja di dalam gedung, dibombardir oleh informasi dan terpisah dari alam, ruang taman dapat membantu mereka menemukan keseimbangan dalam hidup mereka dengan “menciptakan ruang, baik fisik maupun mental, untuk meditasi dan kontemplasi dalam kekacauan kehidupan sehari-hari,” tulis Locher dalam Zen Garden Design.
Masuno melihat kehidupan abad ke-21 sebagai terikat dalam mengejar banyak hal.
Untuk melawan obsesi ini, katanya, dibutuhkan “kelimpahan semangat,” kesempatan untuk refleksi diri dan koneksi dengan diri sendiri. Inilah yang coba dia berikan dengan ruang Zen-nya.
“Ada keindahan di taman Zen yang menurut banyak orang menarik dan menenangkan,” kata Locher.
“Banyak orang menderita karena tidak terkoneksi dengan alam dalam kehidupan sehari-hari mereka, maka dari itu taman Zen dirancang untuk menyediakan koneksi itu.”
Dengan membawa masa lalu ke masa kini, ruang Zen hari ini menawarkan harapan untuk masa depan.
Jadi, kembali ke pencarian awal kami untuk mencari tahu makna dari taman Zen, Masuno sendirilah yang memberikan jawaban yang paling mendalam:
“Taman adalah tempat spiritual khusus di mana pikiran berdiam… berhadapan dengan dirimu sendiri.”
[ad_2]
Source link