Jakarta (DMS) – Hari menjelang senja di kota Paris dan suhu di luar berkisar 12 derajat celsius, tetapi Savira Lavinia Raswari, pendiri brand fashion Fuguku, masih sibuk melayani orang-orang yang mampir melihat koleksinya di acara Paris Trade Show Première Classe.
Dengan tema Way of Water, koleksi avant-garde Fuguku menampilkan busana atasan dan bawahan, serta tas yang memiliki ciri khas yaitu tekstur serupa duri-duri ikan buntal. Bahan yang lentur dan bisa menggembung itu rupanya menarik perhatian banyak pengunjung, apalagi ditampilkan dalam warna-warna cerah yang berani.
Dalam acara yang berlangsung di Carrousel du Louvre –lokasi pameran dan belanja yang berada di bawah Museum Louvre– antara tanggal 28 hingga 30 September 2024 itu, Fuguku mendapatkan beberapa pembeli penting, salah satunya dari Centre Pompidou, museum seni modern terkenal di Perancis yang ingin memamerkan dan menjual koleksi Fuguku di toko mereka.
“Pertemuan dengan pembeli dari Pompidou ini tidak disangka karena banyak desainer yang ingin masuk ke sana, tapi tidak mudah. Saya awalnya juga bingung ketika seorang ibu dari Museum Pompidou ingin memasukkan koleksi saya ke sana dan mereka ingin segera. Akhirnya barang-barang yang dipamerkan inilah yang dibeli dan mereka juga memesan item-item lain,” ujar Savira setelah pameran.
Savira dari Fuguku bukan satu-satunya jenama Indonesia yang ikut Paris Trade Show. Bersamanya ada juga Senses, Enigma, dan Lakon Indonesia yang semuanya berangkat dalam program Pintu Incubator, sebuah program yang bertujuan mendorong desainer muda Indonesia untuk mengembangkan bisnis dan produknya di pasar internasional.
Kali ini Senses membawa koleksi Gala yang terinspirasi oleh legenda Jawa Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso diwakili warna koleksi hitam dan putih dengan motif batik dan tanaman serta hewan Jawa.
Dalam karyanya, Senses menggabungkan warisan budaya dengan fashion meodern lewat ciri khas brand ini berupa lace atau renda, serta aksen brodir. Jadi motif batik di sini bukanlah kain batik, melainkan mengadopsi bentuknya dalam rupa kain renda.
“Aku mengambil warna hitam dan putih untuk menggambarkan kebaikan dan kejahatan dari cerita antagonis ini. Aku juga mengadopsi bentuk kardamom atau kapulaga dan burung kepodang sebagai aksen, dan memasukkan pola batik kawung dan parang dalam bentuk lace atau renda,” ujar Kanya Pradipta Sarashvati, pendiri Senses.
Sementara Enigma membawa koleksi Circularity yang menggambarkan komitmen terhadap keberlanjutan, karena kain jumputan yang dipakai menggunakan bahan organik yang berasal dari tanaman dengan pewarna yang juga natural, seperti dari mangga, kelapa, indigo, secang, dan lainnya.
“Bagi saya, kita akhirnya seharusnya kembali ke alam. Jangan terlalu banyak sampah, jangan terlalu banyak hal di Bumi yang kita rusak. Dengan kembali ke alam, bahan-bahan natural ini akan menyatu kembali dengan alam tanpa merusak,” ujar Elizabeth Marcellina, founder Enigma.
Sedangkan Lakon Indonesia membawakan koleksi bertema Pasar Malam, terinspirasi dari kehidupan dan keseharian generasi masa kini yang menyukai busana nyaman dengan potongan longgar. Koleksi ini didominasi warna biru dan putih, menggunakan batik karya maestro Dudung Alisyahbana dari Pekalongan.
Lakon Indonesia adalah jenama yang didirikan oleh Thresia Mareta, yang sekaligus penggagas berdirinya Pintu Incubator.
Lalu bagaimana brand-brand di atas bisa mengikuti Paris Trade Show?
Hal ini tidak lepas dari Pintu Incubator, sebuah program bilateral yang dirancang untuk pelaku kreatif dan UKM Indonesia dan Perancis di bidang fashion. Sederhananya, pogram ini bertujuan untuk mempersiapkan talenta di dunia fashion agar bisa memasuki pasar internasional.
Tentu banyak hal yang harus dipersiapkan oleh seorang desainer atau pemilik brand agar bisa go internasional. Yang paling penting adalah memiliki produk yang bisa diterima pasar.
Namun, produk saja tidak cukup.
“Kalau mau masuk ke pasar internasional kita harus punya daya saing, perlu ada sesuatu yang kita ciptakan sendiri, punya identitas yang kuat,” ujar Thresia Mareta di sela-sela pameran.
“Jadi saya rasa kalau mau masuk pasar internasional, kalau nama kita mau dikenal secara internasional, ya harus punya strategi, punya kemampuan. Makanya saya berpikir sepertinya yang diperlukan adalah program inkubasi,” lanjutnya.
Dari pemikiran itu, lahirlah Pintu Incubator.
Thresia kemudian memikirkan apa yang perlu dimiliki seorang desainer muda dari Indonesia agar bisa menembus pasar internasional, mulai dari penyesuaian produk hingga berjejaring dengan komunitas fashion dunia.DMS/KC