Jakarta (DMS) – Aset properti milik Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Paris berpotensi disita sebagai bagian dari eksekusi putusan arbitrase yang diajukan oleh perusahaan satelit swasta Navayo International AG.
Pemerintah Indonesia tengah berupaya menyelesaikan kasus ini secara komprehensif untuk menghindari dampak negatif di tingkat internasional.
Di sisi lain, pemerintah juga berencana mengambil langkah hukum terhadap Navayo terkait dugaan wanprestasi dalam proyek Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Hal ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dalam konferensi pers usai rapat koordinasi dengan Kementerian Pertahanan, Kamis (20/3).
Rapat tersebut turut dihadiri oleh sejumlah pejabat terkait, termasuk Wakil Menteri Koordinator Kumham Imipas Otto Hasibuan, Wakil Menteri Polkam Lodewijk Freidrich Paulus, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Narendra Jatna, serta Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno.
Yusril menjelaskan bahwa sengketa ini bermula dari pengadaan komponen satelit oleh Kementerian Pertahanan pada tahun 2016. Dalam persidangan arbitrase di Singapura, Indonesia dinyatakan kalah dan diwajibkan membayar ganti rugi kepada Navayo.
“Setelah perundingan yang berlangsung lama, Navayo akhirnya mengajukan permohonan kepada Pengadilan Prancis untuk mengeksekusi putusan arbitrase tersebut dengan menyita beberapa aset pemerintah Indonesia di Prancis,” ujar Yusril.
Menurut Yusril, langkah Navayo ini menjadi perhatian serius pemerintah. Indonesia menghormati putusan pengadilan tetapi juga memiliki dasar kuat untuk menolak eksekusi tersebut.
“Kami akan berupaya menghambat eksekusi ini karena bertentangan dengan Konvensi Wina yang melindungi aset diplomatik dari penyitaan dalam kondisi apa pun,” tegasnya.
Navayo International AG, perusahaan berbasis di Liechtenstein, menjadi salah satu mitra dalam proyek Satkomhan yang dirancang untuk mengisi slot orbit 123 derajat bujur timur.
Proyek ini terhenti karena keterbatasan anggaran, sehingga Kementerian Pertahanan tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada Navayo sesuai kontrak.
Pada 22 November 2018, Navayo mengajukan gugatan ke International Chamber of Commerce (ICC) Singapura dengan tuntutan sebesar US$23,4 juta.
Pada 22 April 2021, ICC Singapura memutuskan bahwa Kementerian Pertahanan harus membayar US$16 juta kepada Navayo, termasuk biaya arbitrase. Jika tidak dipenuhi, aset Indonesia di Prancis berpotensi disita sebagai bagian dari eksekusi putusan arbitrase tersebut.
Untuk menghindari kejadian serupa, pemerintah telah menyiapkan strategi mitigasi risiko. Selain itu, proses hukum terhadap Navayo tetap berjalan, terutama setelah hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menunjukkan bahwa nilai pekerjaan satelit yang dilakukan Navayo jauh lebih kecil dari nilai kontrak, yakni hanya Rp1,9 miliar dari total kontrak Rp306 miliar.
“Jika ada cukup bukti, maka Navayo bisa dijadikan tersangka, dan kami akan meminta Interpol untuk menerbitkan red notice guna menangkap pihak yang bertanggung jawab,” kata Yusril.
Ia juga mengingatkan seluruh kementerian dan lembaga untuk lebih berhati-hati dalam menyusun kontrak internasional dengan berkonsultasi terlebih dahulu kepada Kementerian Hukum dan HAM serta Kemenko Kumham Imipas.
Sebagai langkah konkret, pemerintah akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) yang dipimpin oleh Deputi Bidang Koordinasi Hukum, Nofli, untuk memastikan penyelesaian kasus ini berlangsung efektif.
“Pemerintah berkomitmen menyelesaikan kasus ini secara transparan dan adil dengan tetap berlandaskan prinsip hukum yang kuat,” pungkas Yusril.DMS/CC