[ad_1]
Dalam skenario terburuk, perang nuklir dapat menyebabkan runtuhnya peradaban global, yang berpotensi mengakibatkan kerusakan besar di masa depan yang jauh. Sejauh apa masa depan itu?
Bagaimana para peneliti mengukur kemungkinan dan tingkat keparahan perang nuklir? Pakar risiko bencana Seth Baum menjelaskan.
Suatu hari di pekan lalu, saya bangun di pagi hari dan melihat ke luar jendela untuk melihat matahari bersinar. Lingkungan saya di daerah New York City tenang dan normal. “Oke, bagus,” kata saya pada diri sendiri. “Kita berhasil melewati malam tanpa perang nuklir.”
Saya bekerja untuk Global Catastrophic Risk Institute, sebuah lembaga think tank yang berbasis di AS. Tugas saya adalah memikirkan ancaman masa depan yang paling buruk bagi umat manusia. Namun, jarang sekali saya berada dalam situasi adanya risiko perang nuklir yang nyata.
Dalam beberapa hari pertama invasi Rusia ke Ukraina, konflik meningkat begitu cepat sehingga mungkin bisa mengarah ke perang nuklir. Negara saya, Amerika Serikat, mendukung Ukraina, sehingga bisa menjadi target potensial serangan nuklir Rusia. Untungnya, itu belum terjadi.
Invasi Ukraina atau peristiwa lainnya yang berisiko perang nuklir menimbulkan pertanyaan yang sangat penting. Untuk individu: haruskah saya berlindung di tempat yang relatif aman?
Untuk umat manusia: haruskah sistem produksi pangan global bersiap menghadapi musim dingin nuklir?
Dalam skenario terburuk, perang nuklir dapat menyebabkan runtuhnya peradaban global, yang berpotensi mengakibatkan kerusakan besar di masa depan yang jauh. Namun kemungkinan suatu peristiwa akan memicu perang nuklir sangat tidak pasti, demikian juga konsekuensinya.
Pentingnya mengevaluasi risiko perang nuklir dan kesulitan melakukannya adalah fokus utama penelitian saya. Jadi, bagaimana kita menyikapi ketidakpastian ini, dan bagaimana kita menafsirkan peristiwa saat ini?
Risiko biasanya diukur dengan kemungkinan terjadinya beberapa peristiwa yang merugikan, dikalikan dengan tingkat keparahan peristiwa, jika itu terjadi.
Risiko umum dapat diukur dengan menggunakan data peristiwa masa lalu. Misalnya, untuk mengukur risiko seseorang meninggal dalam kecelakaan mobil, data tentang kecelakaan mobil di masa lalu dapat dipakai dan dikelompokkan menurut berbagai kriteria seperti tempat tinggal dan usia.
Anda secara pribadi tidak pernah meninggal dalam kecelakaan mobil, tetapi banyak orang lain yang mengalaminya, dan data tersebut membuat kuantifikasi risiko yang andal. Tanpa data ini dan data serupa, industri asuransi tidak dapat menjalankan bisnisnya.
Risiko Anda terbunuh dalam perang nuklir tidak dapat dihitung dengan cara yang sama.
Hanya ada satu perang nuklir yang pernah terjadi, yaitu Perang Dunia Kedua, dan satu titik data tidak cukup. Apalagi, bom atom Hiroshima dan Nagasaki terjadi 77 tahun yang lalu, dalam keadaan yang tidak sama lagi.
Ketika PD2 dimulai, senjata nuklir belum ditemukan, dan ketika pemboman di Jepang terjadi, AS adalah satu-satunya negara yang memiliki senjata nuklir.
Tidak ada pencegahan nuklir, tidak ada ancaman saling menghancurkan. Tidak ada pantangan terhadap penggunaan senjata nuklir, juga tidak ada perjanjian internasional yang mengatur penggunaannya.
Jika PD2 adalah satu-satunya data yang kita punya untuk mengevaluasi risiko perang nuklir, pemahaman kita akan sangat terbatas. Namun, meskipun mungkin hanya ada satu data yang dapat diandalkan, ada juga banyak informasi relevan yang bisa menjadi sumber wawasan untuk kita memahami risikonya.
Salah satu contohnya adalah peristiwa yang mengarah ke perang nuklir, seperti krisis rudal Kuba. Invasi Rusia ke Ukraina yang tengah berlangsung mudah-mudahan tidak menjadi perang nuklir yang sebenarnya.
Saya mengetahui 74 peristiwa nulir “setengah jalan”: 59 peristiwa disusun dalam penelitian yang dilakukan kelompok saya tentang kemungkinan perang nuklir dan. Dalam penelitian terpisah, ada 15 peristiwa tambahan di mana tumbukan asteroid menghasilkan ledakan yang mungkin disalahartikan sebagai serangan nuklir. Hampir pasti ada lebih banyak peristiwa seperti itu, termasuk beberapa yang tidak ada dalam catatan publik.
Sumber informasi penting lainnya adalah pemetaan konseptual dari berbagai skenario di mana perang nuklir dapat terjadi.
Secara garis besar, ada dua jenis skenario: perang nuklir yang disengaja, di mana satu pihak memutuskan untuk menyerang duluan dengan nuklir, seperti PD2.
Ada pula perang nuklir yang tidak disengaja, di mana satu pihak salah mengira bahwa dia dalam ancaman nulir, lalu meluncurkan senjata nuklir. Contohnya termasuk insiden Able Archer tahun 1983, ketika Uni Soviet awalnya salah mengartikan latihan militer NATO, dan insiden roket Norwegia tahun 1995, ketika peluncuran ilmiah sempat disalahartikan sebagai rudal.
Terakhir, ada pula informasi tentang peristiwa tertentu yang dapat memberikan panduan. misalnya dalam invasi Rusia ke Ukraina, parameter penting adalah kondisi mental Vladimir Putin.
Perang nuklir lebih mungkin terjadi jika dia marah, temperamental, terhina, atau bahkan bunuh diri. Faktor lain antara lain apakah Ukraina berhasil melawan militer Rusia, apakah NATO lebih terlibat dalam operasi militer langsung, dan apakah ada alarm palsu besar yang terjadi.
Rincian semacam ini, sejauh yang dapat kita pelajari, sangat berharga untuk menambah pemahaman kita tentang kemungkinan peristiwa ini bisa mengakibatkan perang nuklir.
Semua hal di atas berkaitan dengan kemungkinan perang nuklir. Untuk mengevaluasi risiko, kita juga membutuhkan tingkat keparahannya.
Ada dua bagian. Pertama adalah detail dari perang itu sendiri. Berapa banyak senjata nuklir yang diledakkan? Peledakan dilakukan dengan apa? Di lokasi dan ketinggian mana? Apa saja serangan non-nuklir yang juga terjadi selama perang?
Rincian ini menentukan kerusakan awal. Bagian kedua adalah apa yang terjadi selanjutnya. Apakah para penyintas mampu memenuhi kebutuhan dasar: makanan, pakaian, tempat tinggal? Seberapa parah efek sekunder seperti musim dingin nuklir?
Mengingat semua stresor yang berbeda, apakah para penyintas mampu mempertahankan kemiripan peradaban modern, atau apakah peradaban runtuh? Jika keruntuhan benar-benar terjadi, apakah para penyintas atau keturunan akan dapat membangunnya kembali? Faktor-faktor ini menentukan kerugian total jangka panjang yang disebabkan oleh perang nuklir.
Setiap perang nuklir, betapapun “kecil”, akan menjadi bencana besar bagi daerah yang terdampak. Namun, yang membuat senjata nuklir begitu mengkhawatirkan bukanlah kerusakan yang bisa ditimbulkan oleh satu ledakan saja.
Memang bisa sangat besar, tetapi masih sebanding dengan kerusakan oleh bahan peledak non-nuklir konvensional. PD2 adalah ilustrasi: dari sekitar 75 juta orang yang tewas dalam konflik ini, hanya sekitar 200.000 tewas oleh senjata nuklir.
Jumlah itu sebanding dengan pemboman karpet di kota-kota seperti Berlin, Hamburg, dan Dresden. Senjata nuklir memang mengerikan, tetapi begitu juga senjata konvensional yang digunakan dalam jumlah besar.
Apa yang membuat senjata nuklir begitu mengkhawatirkan adalah nuklir dibuat begitu mudah menyebabkan begitu banyak kehancuran.
Dengan satu perintah peluncuran, sebuah negara dapat menyebabkan kerusakan berkali-kali lipat daripada yang terjadi di sepanjang Perang Dunia II. Semua itu dapat dilakuakn tanpa mengirim satu tentara pun ke luar negeri, yakni dengan mengirimkan hulu ledak nuklir dengan rudal balistik antarbenua. Penghancuran massal telah lama dimungkinkan, tetapi tidak pernah semudah ini.
Inilah sebabnya mengapa aturan pembatasan penggunaan senjata nuklir sangat penting. Kesepakatan berfungsi untuk membantu negara-negara menahan godaan untuk menggunakan senjata nuklir. Jika boleh menggunakan satu senjata nuklir, bagaimana dengan dua, atau tiga, atau empat, dan seterusnya hingga terjadi kehancuran global yang masif.
Dalam istilah risiko, perbedaan antara perang nuklir “kecil” dan “besar” adalah penting.
Setiap orang jauh lebih mungkin untuk mati dalam perang nuklir di mana 1.000 senjata nuklir digunakan dibandingkan dengan penggunaan satu senjata nuklir.
Lebih jauh lagi, peradaban secara keseluruhan dapat dengan mudah menahan perang dengan satu senjata nuklir atau sejumlah kecil senjata nuklir, seperti yang terjadi di WW2.
Pada jumlah yang lebih besar, kemampuan peradaban akan diuji. Jika peradaban global gagal, dampaknya adalah kategori keparahan yang secara fundamental lebih serius, situasi di mana dalam jangka panjang kelangsungan hidup umat manusia dipertaruhkan.
Cukuplah untuk mengatakan, jumlah senjata nuklir yang dibutuhkan untuk mendorong munculnya dampak dalam kategori ini, masih sangat tidak menentu.
Mengingat semua ketidakpastian ini, analisis risiko pun dipertanyakan. Dalam konteks ini, penelitian kelompok saya tentang risiko perang nuklir mendapat dua kritik umum. Beberapa orang mengatakan, terlalu kuantitatif. Yang lain mengatakan tidak cukup kuantitatif.
Orang-orang yang “terlalu kuantitatif” berpendapat bahwa perang nuklir adalah risiko yang secara inheren tidak dapat diukur, atau setidaknya tidak dapat diukur dengan tingkat ketelitian yang memadai, maka, mencoba pun salah. Orang-orang yang “tidak cukup kuantitatif” berpendapat bahwa perkiraan risiko sangat penting untuk pengambilan keputusan yang baik dan bahwa beberapa perkiraan, betapapun buruk dan tidak pasti, lebih baik daripada tidak sama sekali.
Dalam pandangan saya, kedua perspektif memiliki beberapa kelebihan, dan berguna untuk pendekatan saya terhadap analisis risiko perang nuklir. Ada keputusan penting yang bergantung pada risiko perang nuklir, seperti tentang bagaimana negara-negara bersenjata nuklir harus mengelola senjata mereka dan melanjutkan perlucutan senjata.
Ini memberi kita alasan kuat untuk mencoba mengukur risiko. Namun, dalam upaya itu, penting untuk bersikap rendah hati dan tidak mengaku tahu lebih banyak tentang risiko daripada yang sebenarnya kita lakukan.
Kuantifikasi palsu dari risiko menciptakan risikonya sendiri: risiko pengambilan keputusan yang buruk. Mengingat taruhannya yang sangat tinggi, penting bagi kita untuk melakukannya dengan benar.
Lalu bagaimana dengan situasi saat ini, invasi Rusia ke Ukraina? Apa risiko yang mengakibatkan perang nuklir?
Saya tidak dapat menyebutkan angka yang tepat karena banyaknya ketidakpastian dan keadaan yang berubah dengan cepat. Apa yang bisa saya katakan adalah bahwa ini adalah kemungkinan yang layak ditanggapi dengan sangat serius.
Seth Baum adalah direktur eksekutif Global Catastrophic Risk Institute, sebuah wadah pemikir yang berfokus pada risiko eksistensial. Anda dapat membaca versi asli artikel ini dengan judul How to evaluate the risk of nuclear war di BBC Future.
[ad_2]
Source link