Jakarta (DMS) – Relaksasi kebijakan impor yang diterapkan pemerintah dinilai berdampak negatif terhadap industri dalam negeri. Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief, menyebut kebijakan tersebut telah menekan permintaan domestik, menyebabkan lonjakan impor produk jadi, serta menurunkan utilisasi sejumlah sektor industri nasional.
Febri mengungkapkan, kondisi tersebut berpotensi memicu penutupan industri dan meningkatkan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Setidaknya ada empat sektor industri yang kini dalam kondisi rawan, yakni industri alas kaki, elektronik, kosmetik, dan pakaian jadi.
“Relaksasi impor sebelumnya telah berdampak pada menurunnya permintaan dan utilisasi industri dalam negeri, bahkan menimbulkan ancaman PHK,” ujar Febri dalam keterangan tertulis, Selasa (1/7/2025).
Sebagai langkah mitigasi, Kemenperin mendukung kebijakan pembatasan impor produk jadi, terutama pada subsektor tekstil dan produk tekstil (TPT), pakaian jadi, serta aksesorisnya. Revisi terhadap Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) dinilai sebagai upaya strategis dalam menjaga ketahanan industri nasional.
“Revisi Permendag ini mempertimbangkan data supply-demand sektor tekstil dan pakaian jadi. Pembatasan impor secara selektif diyakini akan meningkatkan pesanan untuk produk dalam negeri, khususnya di subsektor tersebut,” tambahnya.
Kemenperin mencatat bahwa pada Juni 2025, subsektor industri tekstil, pakaian jadi, dan aksesoris mengalami kontraksi akibat turunnya permintaan. Hal ini diperkuat dengan data Indeks Kepercayaan Industri (IKI) bulan Juni 2025 yang menunjukkan angka 51,84—masih dalam zona ekspansi namun lebih rendah dibanding Mei 2025 (52,11) dan Juni 2024 (52,50).
Lima subsektor tercatat mengalami kontraksi, antara lain:
Industri Kulit, Barang dari Kulit, dan Alas Kaki (KBLI 15)
Industri Komputer, Barang Elektronik, dan Optik (KBLI 26)
Industri Peralatan Listrik (KBLI 27)
Industri Mesin dan Perlengkapan YTDL (KBLI 28)
Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan (KBLI 33)
Khusus industri alas kaki, penurunan ekspor menjadi faktor utama kontraksi. Nilai ekspor sektor ini turun dari US$ 809,14 juta pada Maret menjadi US$ 634,88 juta pada April 2025, atau turun sebesar 21,54%. Penurunan terjadi di hampir semua negara tujuan, termasuk Amerika Serikat yang menyusut hingga 21,51%.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Budi Santoso menjelaskan bahwa pemerintah telah mencabut Permendag Nomor 8 Tahun 2024 dan menerbitkan Permendag Nomor 16 Tahun 2025 yang memuat kebijakan baru tentang impor, khususnya terkait produk tekstil dan pakaian jadi.
Budi menegaskan, sejumlah komoditas seperti TPT, produk bermotif batik, dan barang tekstil jadi lainnya masih tetap dikenakan larangan dan pembatasan (lartas) melalui mekanisme persetujuan impor, pertimbangan teknis, dan laporan surveyor dari kementerian/lembaga teknis.
“Permendag yang baru masih memuat aturan yang sama untuk komoditas tertentu. Tidak banyak perubahan terkait pengaturan impornya,” ujar Budi dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (30/6/2025).
Kebijakan ini diharapkan mampu mengurangi tekanan terhadap industri dalam negeri dan memulihkan daya saing sektor manufaktur nasional.DMS/DC