Jakarta (DMS) — Menteri Kebudayaan Fadli Zon mendapat desakan untuk meminta maaf atas pernyataannya terkait kasus pemerkosaan dalam kerusuhan Mei 1998, dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Desakan disampaikan sejumlah anggota dewan dan masyarakat sipil yang menghadiri rapat terbuka tersebut. Awalnya, rapat membahas anggaran relaksasi APBN 2025, rencana kerja Kementerian Kebudayaan tahun 2026, serta proyek penulisan ulang sejarah Indonesia.
Namun, sesi tanya jawab diwarnai pertanyaan kritis terhadap Fadli terkait pernyataannya dalam wawancara media yang dianggap menyangkal adanya pemerkosaan massal pada Mei 1998.
Anggota Komisi X dari Fraksi PDI Perjuangan, Mercy Chriesty Barends, meminta Fadli Zon mengklarifikasi dan menyampaikan permintaan maaf atas ucapannya yang dinilai menyakitkan bagi para penyintas dan aktivis perempuan.
“Pernyataan Bapak melukai banyak pihak, terutama kami para aktivis perempuan. Kami menuntut klarifikasi dan permintaan maaf,” ujar Mercy sembari menyerahkan dokumen resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang mencatat 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 pemerkosaan, dalam peristiwa Mei 1998.
Juliyatmono dari Fraksi Golkar juga menyoroti pentingnya komunikasi publik yang bijak dan transparan dalam proyek penulisan sejarah. Ia meminta Kemenbud mengakomodasi seluruh masukan masyarakat.
Habib Syarief Muhammad dari Fraksi PKB menyarankan agar proyek tersebut ditunda karena dinilai tergesa-gesa, tidak transparan, dan menimbulkan kegaduhan publik. Ia menyoroti kekecewaan organisasi perempuan atas respons pemerintah terhadap isu kekerasan seksual masa lalu.
Sementara itu, Melly Goeslaw dari Fraksi Partai Gerindra mengingatkan pentingnya ketelitian dan landasan akademik yang kuat dalam penulisan ulang sejarah nasional agar hasilnya objektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Aksi dari Balkon Rapat
Di tengah rapat, sekelompok masyarakat sipil yang menamakan diri Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menyuarakan protes dari balkon ruang sidang. Mereka membentangkan spanduk dan menuntut Fadli Zon meminta maaf kepada korban pemerkosaan 1998, menghentikan proyek penulisan ulang sejarah, menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Soeharto, serta menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Aksi mereka berlangsung sekitar dua menit sebelum diamankan petugas. Perwakilan koalisi, Jane Rosalina, menegaskan bahwa mereka berhak menyampaikan aspirasi karena rapat terbuka untuk umum.
“DPR adalah ruang aman untuk rakyat menyampaikan pendapat,” kata Jane.
Respons Fadli Zon
Menanggapi kritik tersebut, Fadli Zon menegaskan bahwa ia tidak menyangkal terjadinya pemerkosaan dalam kerusuhan Mei 1998. Namun, ia menyatakan bahwa penggunaan istilah “pemerkosaan massal” tidak tepat, kecuali jika dilakukan secara sistematis dan terstruktur dalam jumlah besar.
“Saya meminta maaf jika pernyataan saya dianggap tidak sensitif. Tapi saya mengecam segala bentuk kekerasan terhadap perempuan,” ujar Fadli.
Ia mencontohkan tragedi Nanking sebagai bentuk pemerkosaan massal berskala besar. Menurutnya, peristiwa Mei 1998 tidak bisa disamakan secara langsung dengan kasus tersebut.
Fadli juga menjelaskan bahwa proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang diketuai sejarawan Susanto Zuhdi telah mencapai 80 persen dan akan menjalani uji publik sebelum diluncurkan bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 pada Agustus 2025.DMS/KC