Jakarta (DMS) – Dewan Pers tengah mendalami dugaan pelanggaran kode etik jurnalistik oleh Direktur Pemberitaan JAKTV, Tian Bahtiar (TB), yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan perintangan penyidikan oleh Kejaksaan Agung.
TB bersama dua tersangka lainnya, yakni Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS), yang merupakan advokat, diduga bermufakat menyebarkan narasi negatif melalui pemberitaan untuk memengaruhi proses penanganan perkara korupsi timah, impor gula, dan ekspor crude palm oil (CPO) di Kejaksaan Agung.
“Kami akan mengumpulkan berita-berita yang digunakan, yang menurut Kejaksaan merupakan bagian dari rekayasa pemufakatan jahat,” kata Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, usai beraudiensi dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin di Jakarta, Selasa.
Berita-berita tersebut akan ditinjau menggunakan parameter kode etik jurnalistik untuk menilai apakah terdapat pelanggaran etik, baik secara substansi maupun prosedur.
“Kami ingin memastikan terlebih dahulu. Jadi, dalam konteks pemeriksaan, bisa saja kami memanggil para pihak terkait,” ujar Ninik.
Ia menegaskan Dewan Pers menghormati proses hukum yang berjalan, namun tetap akan menjalankan kewenangannya untuk menilai apakah produk pemberitaan tersebut merupakan karya jurnalistik yang sesuai dengan etika profesi.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menyatakan institusinya juga menghormati proses etik yang akan dilakukan Dewan Pers.
Menurut Harli, dugaan perintangan penyidikan yang menjerat TB merupakan tindakan pribadi, bukan mewakili institusi JAKTV. Ia juga menegaskan bahwa Kejaksaan bukan lembaga yang antikritik, namun mempersoalkan adanya pemufakatan jahat antarterdakwa untuk memengaruhi penanganan perkara.
Dalam kasus ini, TB diduga menerima imbalan sebesar Rp478,5 juta untuk menyebarkan pemberitaan negatif melalui media sosial, media daring, dan siaran JAKTV. Selain itu, MS dan JS juga membiayai demonstrasi, seminar, podcast, serta talkshow yang menyudutkan Kejaksaan.
Ketiganya dijerat Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.DMS/AC